Plastik ada di mana-mana—di darat, di laut, di udara, bahkan di dalam tubuh kita. Tapi, alih-alih berkurang, jumlahnya justru terus meroket. Dalam dua dekade terakhir, sampah plastik global melonjak lebih dari dua kali lipat, dan Indonesia tak luput dari tren suram ini.
Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bertajuk, “Policy Scenarios for Eliminating Plastic Pollution by 2040” menemukan sepanjang periode tahun 2000 sampai 2019, terjadi peningkatan sampah plastik hingga dua kali lipat secara global, dari 213 juta ton menjadi 460 juta ton. Pada 2015, hanya 20 persen dari sampah plastik yang didaur ulang, 55 persen dibuang ke lingkungan, dan sisanya dibakar.
Di Indonesia, upaya pengurangan dan pengelolaan yang belum maksimal juga menimbulkan timbulan sampah plastik yang berpotensi menjadi masalah. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2023 menunjukkan terdapat total 41,07 juta ton sampah, atau naik hingga 48,77 persen dari tahun 2019. Dari total sampah itu, 61,62 persennya terkumpul di tempat pembuangan sampah, ditimbun, atau sebagiannya dikelola. Sisanya, mencemari lingkungan, termasuk lautan.
“Produksi sampah plastik yang terus meningkat, tanpa diimbangi pengelolaan yang mumpuni telah menyebabkan pencemaran mikroplastik di berbagai aspek lingkungan –air, tanah, udara dan produk konsumsi seperti ikan, daging dan garam.. Kondisi ini semakin meningkatkan kekhawatiran akan resiko kontaminasi mikroplastik pada manusia,” kata Afifah Rahmi Andini, peneliti plastik Greenpeace Indonesia.

Ahli Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Pukovisa Prawirohardjo, Sp.S(K)., Ph.D. mengatakan, hasil studi kolaborasi yang tengah dilakukan peer review ini menemukan bahwa partisipan dengan pola konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.
“Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan penelitian mencakup diantaranya pengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan,” ujarnya.
Fungsi kognitif partisipan dianalisis menggunakan Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina) dan dilakukan bersama tim dokter dari Divisi Neurobehavior Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM).
Berikut temuan yang didapatkan dari hasil riset yang dilakukan:
- Pada tubuh manusia, kontaminasi mikroplastik dapat ditemukan di urin, feses, dan darah. Dalam penelitian ini, 95% sampel darah dari 67 partisipan ditemukan mengandung mikroplastik dengan rentang kadar per sampel darah partisipan berkisar 0 hingga 44,35 partikel per gram (p/g). Sementara, mikroplastik per sampel urin partisipan terdeteksi dengan jumlah berkisar 0 – 0,33 partikel per mililiter (p/mL).
- PET (Polyethylene Terephthalate) adalah jenis mikroplastik yang paling kontaminan, dengan total 204 partikel terdeteksi dalam tubuh partisipan, memiliki ukuran yang bervariasi antara 30 μm (mikrometer) hingga 3000 μm. PET dapat bersumber dari penggunaan kemasan plastik sekali pakai seperti botol minuman, kemasan makanan siap saji, botol produk perawatan tubuh, hingga serat pakaian dan karpet.
- Penelitian ini menemukan partisipan dengan pola konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat. Gangguan fungsi kognitif di antaranya berpengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan.
- Survei yang dilakukan pada masyarakat menunjukkan bahwa mayoritas publik sangat mendukung berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah mikroplastik. Langkah-langkah yang diusulkan meliputi penghentian bertahap produksi plastik murni, promosi sistem isi ulang dan penggunaan kembali, penerapan standar baku mutu mikroplastik, serta perbaikan sistem pengelolaan sampah di tingkat lokal.

Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia Ibar F. Akbar mengatakan, pemerintah dan produsen perlu mengambil langkah untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik dalam lingkungan yang memiliki dampak buruk ke kesehatan manusia.
Hasil riset tersebut juga merekomendasikan kepada pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan, mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai, melarang mikroplastik primer, serta mendorong transisi ke sistem kemasan guna ulang untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan.
Selain itu pemerintah juga perlu untuk menetapkan standar pengujian mikroplastik yang ketat serta ambang batas kontaminasi dalam pangan dan lingkungan. Terakhir adalah produsen perlu mengurangi produksi dan distribusi plastik sekali pakai secara signifikan dan beralih ke sistem kemasan guna ulang dan isi ulang, meningkatkan transparansi komposisi produk, dan berinvestasi dalam teknologi pengelolaan limbah plastik.
“Produsen harus segera beralih ke sistem kemasan guna ulang (reuse) dan isi ulang (refill). Produsen juga perlu meningkatkan transparansi komposisi plastik dalam produknya serta peta jalan pengurangan sampah oleh produsen,” kata Ibar.
Laporan lengkapnya dapat diakses di sini: Mikroplastik: Ancaman Tak Kasat Mata yang Dapat Menghambat Fungsi Otak