Dekarbonisasi dan transisi energi adalah kebijakan yang bermula dari kewajiban hukum internasional yang dimandatkan dalam Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan temperatur rata-rata global ke 2°C dari level pra-industri dan mendorong upaya untuk membatasi kenaikan temperatur ke 1.5°C diatas level pra-industri untuk mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim secara signifikan.
Konsensus dalam Perjanjian Paris dengan negara global utara sebagai suara mayoritas cenderung memberikan peluang untuk naik ke 2°C. IPCC telah mengingatkan melalui Assessment Report 6 bahwa kenaikan temperatur ke 2°C akan memberikan ancaman besar kepada keberlangsungan hidup di negara global selatan termasuk Indonesia.
Sehingga, seharusnya kebijakan dekarbonisasi dan transisi energi global harus menyasar pembatasan kenaikan temperatur ke 1.5°C yang lebih eksplisit disebutkan dalam Pakta Iklim Glasgow.
Namun kebijakan transisi energi yang ada saat ini masih nampak setengah hati dan belum memberikan keadilan kepada masyarakat Sulawesi. Komitmen penurunan emisi karbon betul adanya melalui pemberhentian penambahan PLTU baru, akan tetapi masih diberi pengecualian jika PLTU tersebut terintegrasi oleh proyek mineral kritis (hilirisasi) berupa PLTU Captive, atau pembangkit batubara yang terintegrasi dengan smelter.
Hal ini berdampak buruk bagi masyarakat sulawesi, sebab cadangan nikel terbesar di Indonesia sebanyak 2,6 miliar ton yang berada di Pulau Sulawesi membuat aktivitas penambangan nikel semakin tak terkontrol dan hingga pabrik smelter yang didirikan oleh negeri tirai bambu juga semakin meningkat pasca larangan ekspor bijih nikel mentah diterapkan. Seiring dengan hal tersebut PLTU Captive juga bertambah untuk menjadi sumber energi smelter.
Di lain sisi, masalah krisis iklim akibat emisi karbon telah memberi masalah global berupa kekeringan, krisis air, hingga masalah kesehatan akibat polusi udara yang kian masif. Pemiskinan masyarakat juga menjadi implikasi masalah dari kekeringan dan masalah cuaca yang tak menentu.
Maka dari itu, kami menilai pemerintah hingga hari ini masih gagal menyelamatkan rakyat dari bencana krisis iklim dan belum memberi solusi yang tepat untuk dekarbonisasi. PLTU Captive masih berada di luar jangkauan komitmen dekarbonisasi, pembiaran PLTU Captive untuk terus dibangun dan dioperasikan melalui Pasal 3 Ayat 4 Perpres 112 tahun 2022 menjadi bukti bahwa pemerintah saat ini tidak serius untuk menyelamatkan rakyat.
Green Youth Movement Sulawesi Selatan melakukan aksi damai di Jalan Boulevard, Minggu 12 November 2023 dengan menyatakan sikap menolak pembangunan PLTU Batubara yang akan merusak lingkungan dan dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat.
Maka dari itu, kami dalam aksi ini menyatakan dengan tegas bahwa;
- Pemerintah harus segera merevisi Perpres 112/2022 tentang pengecualian PLTU Captive dalam rencana pensiunan dini dan penghentian PLTU Captive baru.
- Pemerintah harus melakukan audit dan/atau moratorium terhadap PLTU terkait emisi karbon, dampak kesehatan dan dampak lingkungan akibat operasi pembangit listrik batubara di pulau Sulawesi, terutama PLTU Captive yang digunakan untuk kepentingan industri mineral kritis (smelter nikel).
- Negara harus bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami masyarakat akibat masalah iklim dan dampak langsung dari PLTU ke Masyarakat Lokal.
- Masalah kekeringan air dan krisis energi berupa pemadaman lampu bergilir menjadi bukti bahwa saat ini kita mengalami masalah yang cukup besar. Atas dasar tersebut, pihak-pihak terkait harus bertanggung jawab dan mengutamakan kepentingan rakyat daripada korporasi untuk daya konsumsi listrik di Sulawesi Bagian Selatan.
- Momentum pemilihan umum (Pemilu) di tahun 2024 menjadi ajang untuk menunjukkan komitmen terhadap iklim dan urgensi percepatan transisi energi, maka dari itu kami menuntut para kandidat untuk serius menghadapi masalah krisis iklim, serta mengajak masyarakat sipil untuk tidak memilih calon presiden, legislatif dan kepala daerah yang tidak serius dalam mengatasi masalah iklim dan lingkungan hidup.