Terjadinya transisi kepemimpinan Indonesia dari Joko Widodo kepada Prabowo Subianto untuk periode 2024-2029, masyarakat tentu memiliki harapan pada pemerintahan yang baru. Harapan tersebut mencakup peningkatan kesejahteraan serta jaminan perlindungan terhadap ruang hidup, khususnya bagi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kawasan Timur Indonesia dikenal sebagai wilayah kepulauan yang kaya akan potensi sumber daya alamnya, namun masih menghadapi tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Hal itu diperburuk dengan tata kelola pemerintahan yang tidak berpihak kepada masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ancaman terhadap wilayah pesisir dan kepulauan semakin nyata dengan dampak perubahan iklim yang semakin parah. Pengaruh perubahan iklim ini berdampak pada perubahan musim penangkapan ikan, hilangnya lahan penduduk di daerah pesisir akibat abrasi, krisis air, perubahan musim tanam, kekeringan, pemutihan karang, serta meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem.
Berdasarkan hal tersebut, Jaring Nusa kembali menggelar sharing session untuk mendengar suara dari masyarakat yang ada di wilayah KTI berbagai persoalan yang dihadapi. Kegiatan ini digelar pada Rabu (23/10/2024) melalui zoom meeting.
Krisis Air Bersih di Pesisir Makassar
Di tengah gemerlapnya kota, pembangunan infrastruktur yang terus ada di Makassar, terdapat realitas yang jauh dari kemewahan. Masyarakat setiap hari harus berjibaku untuk mendapatkan akses air bersih. Bagi Husnaeni, warga di Tallo, pesisir Makassar menganggap air bersih merupakan sebuah kemewahan.
Pembangunan pesat kota Makassar di berbagai wilayah, nyatanya tidak dirasakan oleh warga di wilayah Tallo, Ia menjelaskan jika selama 20 tahun warga tidak mendapatkan akses air bersih dari PDAM.
“Keadaan kami sekitar 20 tahun tidak mendapatkan air PDAM, belum masuk ke wilayah kami. Padahal tahun 2000 pernah ada pipa PDAM masuk di wilayah kami, setelah itu tidak ada lagi masuk,” terangnya.
“Kami semenjak tidak ada PDAM, kami mencari air kesana kemari,” tambahnya.
Ia menerangkan jika solusi yang diberikan pemerintah dengan membuat sumur bor. Namun menurutnya, sumur bor tidak mampu mencukupi kebutuhan air warga.
“Kebetulan dari pemerintah kasih masuk sumur bor, tapi sekarang sudah macet,” ujarnya.
“Jadi sekarang ini kami mengambil air sekitar kurang lebih 1 kilometer menggunakan gerobak air menggunakan air di sumur bor di wilayah lain,” tambahnya.
Biaya dan tenaga ekstra harus dilakukan oleh para ibu-ibu yang tiap malam harus berjalan jauh dengan membawa gerobak air. Selain itu harus menunggu antrian panjang untuk mendapatkan air.
“Disini sekitar 70 persen pekerjaan warga nelayan dan sekarang ini itu beban biaya. Membeli air, kita dorong gerobak. Jadi setiap malam kami disini para-para ibu-ibu tulang punggung utk air, karena suami kami mencari nafkah,” jelas Husnaeni.
Kondisi tersebut membuat Husnaeni merasa seperti tidak diperhatikan oleh pemerintah utamanya dalam akses air bersih. Pekerjaan mengambil air terkadang membuat warga mudah terserang penyakit.
“Pemerintah seakan menganaktirikan kami. Kami terus terang cepat sekali terserang penyakit. Kami begadang sampai jam 12 untuk menunggu antrian air, kemana yang bisa kita dapatkan air. Ada air sumur tua yang biasa ditempati ambil sekarang sudah kering,” terangnya.
Hasil penelitian dari WALHI Sulsel mengenai krisis air bersih di Makassar memberi dampak ekonomi, sosial, hingga permasalahan kesehatan terhadap warga yang ada di Kecamatan Tallo khususnya kelompok perempuan.
“Krisis air yang dialami oleh ribuan warga di Kecamatan Tallo bukan disebabkan oleh permasalahan teknis perpipaan, tetapi lebih kepada persoalan akses dan distribusi yang timpang,” ungkap penelitian tersebut.
Sagea Digempur Pertambangan Nikel
Desa Sagea menjadi salah satu dari banyaknya desa yang terdampak akibat ekspansi pertambangan nikel dalam beberapa tahun terakhir. Gempuran pertambangan telah menyebabkan berbagai dampak ekologis dan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
Riset yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) bersama Koalisi Save Sagea mengungkapkan telah terjadi deforestasi yang tinggi. Seluar 392 hektar deforestasi dari Januari 2021 hingga September 2023 di terjadi di sekitar wilayah DAS Sagea.
“Masyarakat sekitar harus menanggung ulah dari perusahaan, Bisa kita lihat bersama fenomena, banjir, kondisi air Sagea keruh yang itu memicu kemarahan dari masyarakat yang ada di lingkar tambang,” ujar Rifya Rusdi, dari koalisi Save Sagea.
Berbagai upaya protes yang dilakukan oleh warga menuntut keadilan namun tidak digubris. Menurutnya pemerintah hanya memberikan janji yang tidak terealisasikan.
“Pemerintah sampai hari ini tidak mendengarkan keluhan masyarakat. Kemarin ada ibu-ibu melakukan protes atas dampak yang lebih besar,” ungkapnya.
“Kita juga diperhadapkan oleh pencemaran udara, laut dan sungai. Apalagi melihat pemerintah baru ini akan mengenjot hilirisasi, kita akan dipindahkan dimana?” tambahnya.
Dampak yang parah juga melanda terhadap aktivitas nelayan mencari ikan. Pencemaran yang terjadi di laut sekitar pesisir membuat nelayan harus melakukan penangkapan lebih jauh dan durasi yang lama.
“Nelayan wilayah tangkapannya juga sudah jauh, harus mengeluarkan BBM lebih besar. Harga BBM juga terjadi peningkatan, 1 liter 50 hingga 60 ribu,” terangnya.
Upaya untuk mengedukasi masyarakat terus dilakukan oleh Save Sagea, sebuah koalisi organisasi masyarakat di Sagea. Upaya tersebut dilakukan untuk melindungi sumber-sumber penghidupan warga secara berkelanjutan dan mencegah dampak buruk dari ekspansi pertambangan nikel yang masif.
“Kami membangun organisasi dan komunitas nantinya mendidik generasi memperkaya sumber daya manusia agar tidak bisa dibodohi,” pungkasnya.
Pengelolaan Setengah Hati Budidaya Lobster
Lombok Timur merupakan salah satu penghasil Benih Bening Lobster (BBL) terbesar di Indonesia. Data dari Kementerian Kelautan dan perikanan tahun 2020 mencatat sebanyak 3.573602 ekor BBL di Lombok Timur.
“Saat ini di Teluk Jukung pekerjaan pesisir yang paling menjanjikan adalah budidaya lobster, karena BBL-nya sangat banyak disini dan pembudidayaanya. Dalam 1 minggu akan ada 2-3 unit keramba baru,” terang Abdullah, nelayan Desa Jerowaru.
Ia menerangkan salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh nelayan pembudidaya adalah pengelolaan yang masih setengah hati didukung pemerintah. Harga BBL yang mahal menjadi persoalan klasik yang harus dihadapi oleh pembudidaya.
“Untuk sekarang ternyata pembudidaya dan penangkap BBL ini tidak bisa saling terpisah. Saling membutuhkan,” ungkapnya.
“Harga BBL saat itu 8.500 ribu/ekor. Waktu itu kita setuju, karena keadaan terpaksa dengan satu syarat harga untuk pembudidaya maksimal 5 ribu. Namun itu hanya janji saja,” ujarnya.
Selain masalah harga, pakan lobster jadi persoalan serius yang menjadi kendala pembudidaya. Menurutnya perlu ada upaya yang jelas dari pemerintah untuk memperbanyak stok pakan. Ia membanding dengan Vietnam dengan pemerintahan memberikan subsidi pakan kepada pembudidaya.
“Kalau masalah BBL sudah bisa teratasi, selanjutnya yang paling krusial adalah pakan. Kalau kita berkaca dengan Vietnam kalau pakannya sudah ada yang tangani, sudah ada supplier untuk pakan. Sedangkan untuk BBL-nya mereka dapat subsidi, sedangkan di Indonesia tidak ada subsidi,” terangnya.
Ia berharap jika pemerintah baru ini memberikan angin segar terhadap aspirasi dari nelayan pembudidaya. Bukan hanya mengekspor BBL, tapi bagaimana berfokus dengan memaksimalkan potensi lobster yang ada di Indonesia.
Buka Tutup Gurita di Ende
Toya H. Usman, nelayan dari Desa Serandori, Kabupaten Ende menerangkan jika ada banyak persoalan yang dihadapi oleh nelayan. Ia membeberkan jika pendapat masyarakat pesisir masih terbatas.
“Terbatasnya akses layanan keuangan, sehingga nelayan harus berhutang pada papa lele atau harus meminjam ke koperasi dengan bunga yang tinggi,” ujarnya.
Selain itu, persoalan lainnya juga berkaitan dengan lingkungan hidup. Kurangnya akses informasi mengenai alat tangkap menyebabkan nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
“Banyaknya terumbu karang yang rusak yang disebabkan oleh nelayan penangkapan ikan dengan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan,” terangnya.
Nelayan di Desa Serandori membentuk kelompok perikanan skala kecil berbasis komunitas untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. Mereka menerapkan sistem buka tutup gurita.
Gurita menjadi komoditas yang banyak ditangkap oleh nelayan. Setelah dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan secara kearifan lokal atau tutup-buka lokasi tangkap gurita yang didampingi oleh Yayasan Tananua Flores, hasil tangkapan nelayan sudah meningkat.
“Keadaan kami dulu sebelum Yayasan Tananua Flores masuk, kami menangkap gurita hasilnya tidak begitu banyak. Dengan adanya sistem buka tutup, hasilnya memuaskan,” ujarnya.
“Satu hari kami bisa dapat 30kg. Sebelum buka tutup kami sulit mendapatkan tangkapan yang maksimal, hanya sampai 10 kg tapi sampai sore,” tambahnya.
Untuk menjaga sistem buka tutup gurita, masyarakat secara swadaya melakukan patroli rutin.
“Adanya kesadaran bersama dalam menjaga dan mengawasi lokasi yang dilakukan pengelolaan,” ujarnya.
Berbagai dampak positif lainnya adalah pembentukan kelompok simpan pinjam bagi nelayan, dan saat ini masih berlangsung. Tingginya kesadaran warga juga terhadap kelestarian laut membuat warga membuat pelatihan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Ia juga berharap kepada pemerintah baru ini agar melihat kehidupan nelayan lebih dekat untuk mengetahui masalah yang dihadapi dan meningkatkan taraf kehidupan.
“Perlunya sarana tangkap yang memadai yang mendukung penangkapan gurita dan ikan. Tersedianya wadah pemasaran ikan dan gurita terdekat. Perlu ada peningkatan keamanan dan keselamatan saat melaut,” harapnya.
Rekomendasi Untuk Pemerintah Baru
Muhammad Al Amin, selaku penaggap dari diskusi tersebut membeberkan beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia khususnya di wilayah KTI. Ia menitikberatkan jika pemerintah baru tidak melihat isu pesisir laut dan pulau kecil sebagai prioritas. Hal itu dapat dilihat dari komposisi kementerian.
“Dari seluruh itu, isu kemaritiman sudah dihilangkan. Kalau dilihat dari nomenklatur itu hilang yaitu menteri koordinator kemaritiman,” terangnya.
“Ini menunjukkan isu kelautan dan perikanan serta kemaritiman menjadi tonggak perekonomian dan kemajuan bangsa Indonesia tidak menjadi prioritas,” tambahnya.
Ia menerangkan jika tantangan yang dihadapi adalah kemiskinan meningkat secara ekstrim. Kebijakan perikanan yang mendiskriminasi nelayan tradisional dan hanya memperkaya perusahaan perikanan.
“Bukti konkritnya adalah migrasi masyarakat pesisir semakin banyak. Migrasi pun ternyata sama saja dengan penghidupan yang bisa mereka dapatkan,” terangnya.
“Ini menjadi tantangan agar kita harus selalu solid dan berkonsolidasi untuk wilayah pesisir laut dan pulau kecil KTI,” ujar Amin, yang merupakan Direktur Eksekutif WALHI Sulsel.
Ia memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan moratorium aktivitas ekstraktif di wilayah pesisir, laut dan pulau kecil. Moratorium perluasan perkebunan skala besar di pulau-pulau kecil.
Selain itu ia merekomendasikan pemerintah untuk mengakui, menghormati dan melindungi aktivitas kelola rakyat di KTI.
“Akui berarti sebuah aktivitas ekonomi, hormati sebagai bagian dari rakyat dan lindungi dari kehancuran,” tegasnya.
Terakhir adalah pemerintah perlu meningkatkan dukungan dan pelayanan ke masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di KTI.
“Kita masih butuh dukungan dari pemerintah untuk diberikan program dan pelayan bagi masyarakat di pesisir laut dan pulau kecil,” pungkasnya.
Foto utama: Presiden Prabowo Subianto melantik para menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, pada Senin, 21 Oktober 2024. (Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev)