17 Eksekutif Daerah WALHI di seluruh Indonesia dan Eksekutif Nasional WALHI menyambangi Kejaksaan Agung menyampaikan 47 kejahatan lingkungan yang tersebar di 17 Provinsi. 47 kasus yang dilaporkan berdampak pada kerugian negara dan indikasi korupsi. Eksekutif Daerah WALHI NTT turut serta mengadukan 6 (enam) kasus kejahatan lingkungan di NTT baik yang dilakukan oleh Perusahaan, individu, dan pemerintah.
Perkebunan monokultur oleh PT.Muria Sumba Manis di Sumba Timur adalah satu kasus yang dilaporkan oleh WALHI NTT. Aktivitas Perusahaan ini diduga kuat syarat dengan korupsi oleh oknum-oknum pemerintah. Aktivitas PT MSM pada awal 2017 hanya mengantongi Izin Pemanfaatan Ruang dari pemerintah Sumba Timur tanpa mengantongi AMDAL sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Izin lingkungan.
Dampak pada kerugian negara, perusahaan ini juga melakukan penggusuran pada kawasan hutan alam primer dan kawasan hutan tutupan. Selain itu, PT MSM juga telah menggusur paksa sawah, tempat penggembalaan, dan tempat-tempat suci, termasuk tempat berdoa Masyarakat adat Umalulu dan Rindi yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Sawah-sawah yang digusur oleh PT MSM ini adalah sawah yang dicetak melalui program pencetakan sawah pada tahun 1980-an, yang dibiayai APBN.
Selanjutnya, pencemaran PLTU di tiga Lokasi, PLTU BOLOK dan PLTU Lifuleo di Kabupaten Kupang, serta PLTU Ropa di Kabupaten Ende. Aktivitas ketiga PLTU ini berdampak buruk pada wilayah laut dan biota laut sekitarnya.
Dua PLTU di Kabupaten Kupang, PLTU Lifuleo dan PLTU Bolok berdampak pada kawasan laut sekitar PLTU terutama aktifitas dari petani rumput laut. Pasca beroperasinya kedua PLTU ini, petani rumput laut mengalami kerugian drastis. Panen rumput laut menurun drastis juga nelayan lokal sulit mendapatkan ikan.
Selain itu, kasus ketiga yang dilaporkan adalah permasalahan geothermal di pulau Flores juga dilaporkan oleh WALHI NTT. Geothermal Pocoleok di Kabupaten Manggarai yang juga diduga kuat syarat dengan tindakan korupsi oknum pemerintahan. Geothermal Pocoleok terkesan dipaksakan oleh PLN dan Pemerintah Manggarai, padahal proyek ini berpotensi kuat akan menimbulkan kerugian negara yang sangat besar mulai dari kerusakan hutan dan lahan pertanian warga sampai pada bencana ekologi.
Selanjutnya Illegal Logging Sonokeling di TTU. Illegal Logging kayu sonokeling di kawasan hutan lindung dengan memalsukan dokumen lacak balak marak terjadi di Kabupaten TTU. Dalam pantauan WALHI NTT, pada tahun 2018 7 (tujuh) perusahaan pelaku illegal logging di TTU pernah dibekukan namun ini tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku lain.
Aktivitas illegal logging sonokeling terus terjadi sampai saat ini tanpa penegakan hukum yang tegas dari aparat penegak hukum. Bahkan beberapa kali dolgen kayu sonokeling yang diamankan KPH UPT TTU di penampungan Naen dibawa kabur entah kemana, dan penanganan hukumnya menjadi berlarut-larut di Gakkum KLHK Regional Nusra. Ilegal loging ini telah menimbulkan kerugian negara mulai dari kerusakan lingkungan dan indikasi keterlibatan oknum aparat kepolisian TTU yang sebelumnya telah dilaporkan.
Pertambangan Mangan di NTT juga turut dilaporkan oleh WALHI NTT. Pertambangan Mangan di NTT diduga kuat syarat dengan permasalahan korupsi dana reclama pasca tambang dan perizinan. Beberapa perusahaan tambang Mangan di NTT memiliki praktik yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Salah satu contohnya adalah PT. Istindo Mitra Perdana (IMP), yang menambang batu mangan di tanah ulayat warga Kampung Serise, Kabupaten Manggarai.
Perusahaan ini beroperasi dari 2009 hingga 2017, namun berhenti karena kewajiban membangun smelter untuk ekspor bahan mentah ke China. Selama beroperasi, IMP tidak melakukan reklamasi, meninggalkan lubang tambang yang menganga. Izin Pertambangan Mangan di NTT pernah diobral oleh pemerintah daerah tersebar di 7 Kabupaten di NTT yakni Kabupaten Belu, Kupang, Manggarai, Manggarai Timur, Sabu Raijua, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara, dengan total luas izin konsesi 10.435,18 Hektar berada dalam kawasan hutan lindung. (Data ESDM 2018).
Kasus terakhir yang dilaporkan adalah pengrusakan hutan adat Besipae dan dugaan korupsi di instalasi peternakan di Besipae. Pengrusakan hutan adat pubabu berdampak pada kekeringan dan hilangnya mata air, selain itu, indikasi korupsi proyek peternakan oleh dinas peternakan juga patut diselidiki oleh pihak kejaksaan agung. Proyek yang dimulai dari 1987 sampai 2012 tidak mendapatkan hasil yang jelas, justru sebaliknya adalah menimbulkan dampak kerusakan ekologis dan sosial yang cukup besar.
*Rilis WALHI NTT