Menurut Ocean Concervancy, meskipun memiliki penampilan tembus pandang dan pelengkap seperti sayap, malaikat laut sebenarnya adalah siput yang berasal dari Samudra Arktik dan wilayah dingin di Samudra Atlantik Utara.
Suhu air yang dingin di sepanjang Mid-Atlantic telah menyebabkan makhluk ini terdampar di pantai-pantai di sepanjang Semenanjung Delmarva, termasuk di Chincoteague dan Assateague, serta hingga ke Delaware di Cape Henlopen.
Kota Ocean City mencatat adanya proses yang disebut upwelling, di mana air laut dalam yang dingin naik ke permukaan. Di lautan terbuka dan di sepanjang garis pantai, angin mencampur air dan membawa air dari dasar laut yang dingin dan kaya akan nutrisi ke permukaan.
Malaikat laut berwarna biru, oranye, dan merah ini memiliki dua subspesies, dengan variasi utara yang hidup di air yang lebih dingin dan matang pada ukuran 1,2 inci serta dapat mencapai ukuran 2,8 hingga 3,3 inci. Sebaliknya, subspesies selatan hanya mencapai sekitar setengah inci. Masuk dalam kelompok Gymnosomata yang merupakan siput berukuran kecil.
Meskipun ukurannya kecil, mereka cukup kuat untuk hidup dari permukaan air hingga kedalaman lebih dari 1.600 kaki. Meskipun tidak membahayakan publik, bentuknya yang unik membuat malaikat laut ini menjadi.
Kehadiran mereka diyakini bersifat musiman dan sangat tergantung pada suhu air yang lebih dingin. Selama siklus hidup mereka yang singkat, yang diperkirakan oleh para ilmuwan setidaknya berlangsung dua tahun, mereka akan menghasilkan 30 hingga 40 telur.
Indikator Perubahan Iklim
Dilansir dari mongabay.co.id, sebuah tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Katja Peijnenburg dari Naturalis Biodiversity Center di Belanda mengambil sampel 21 spesies pteropoda di dua transek lautan sebagai bagian dari program Transek Meridional Atlantik dan mengumpulkan informasi tentang 2.654 gen.
Dengan menganalisis data dan fosil-fosil kunci pteropoda, para ilmuwan berhasil menentukan bahwa dua kelompok utama pteropoda, berevolusi pada zaman kapur, sekitar 139 juta tahun yang lalu.
Pada masa itu diketahui pteropoda telah terpapar pada periode karbon dioksida yang tinggi. Hal itu menjadi penting lantara para peneliti berusaha memprediksi bagaimana berbagai spesies laut dapat merespons perubahan global saat ini dan di masa depan.
“Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lautan terbuka, organisme bercangkang lebih tahan terhadap pengasaman lautan di masa lalu daripada yang diperkirakan saat ini, namun kecil kemungkinannya pteropoda mengalami perubahan global dalam skala dan kecepatan yang sama dengan yang terjadi saat ini sepanjang sejarah evolusioner mereka,” ujar Goetze.
Foto utama: Alexander Semenov via flickr