Search
Close this search box.
Search

Pelibatan Masyarakat Memainkan Peran Kunci dalam Upaya Konservasi dan Pemulihan Ekosistem Pesisir dan Laut

Pelibatan Masyarakat Memainkan Peran Kunci dalam Upaya Konservasi dan Pemulihan Ekosistem Pesisir dan Laut

Wilayah pesisir di Kawasan Indonesia Timur menghadapi berbagai ancaman baik yang sifatnya eksternal maupun internal. Krisis iklim dengan berbagai dampak turunannya seperti naiknya permukaan air laut, cuaca ekstrim, meningkatnya laju abrasi, dan pemutihan karang merupakan beberapa dampak langsung.

Selain itu beberapa ancaman juga datang dari pengelolaan wilayah pesisir yang tidak lestari, alih fungsi lahan mangrove, pencemaran lingkungan, penambangan, pengrusakan terumbu karang, IUU fishing dan juga terdapat faktor minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan pesisir serta perairan.

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang tidak terkendali mengancam kelestarian ekosistem serta wilayah penghidupan masyarakat. Menciptakan degradasi fisik habitat pesisir, serta lebih jauh menimbulkan konflik pemanfaatan ruang pesisir, konflik wilayah tangkap dan penguasaan wilayah laut.

Berbagai upaya yang dilakukan masyarakat untuk memulihkan ekosistem dan mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman degradasi lingkungan terus digalakkan secara konsisten di berbagai daerah. 

Untuk itu, Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia menggelar sharing session dengan mengangkat tema Inisiatif Pemulihan Lingkungan dan Konservasi Kelola Masyarakat di Kawasan Timur Indonesia. Kegiatan yang berlangsung pada Kamis (27/02/2025) digelar cara daring melalui zoom meeting.

Dari PLTGU ke Pelestarian Mangrove

Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulsel menjelaskan upaya konservasi mangrove yang diawali dari penolakan warga terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU). Perjuangan warga menolak rencana PLTGU dimulai sejak tahun 2017.

“Keberadaan kami di Maros pada saat itu lantaran penolakan warga terkait dengan rencana pembangunan PLTGU. Pemerintah berdalih jika pembangunan PLTGU karena mangrovenya hancur, dan nelayan berada dalam ekonomi ke bawah di wilayah perencanaan,” terangnya.

“Kami diskusi dengan masyarakat, namun bagi warga akan mempertahankan ruang hidupnya sebagai nelayan. Sejak kecil mereka dihidupi dari hasil laut. Jadi warga akan tetap melindungi wilayahnya dari PLTGU,” tambahnya.

Beberapa Warga Dusun Binangasangkara, Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Maros yang menolak rencana pembangunan PLTGU membentuk Organisasi Rakyat. (Foto: Ansar/Tribun Timur)

Perjuangan warga dalam menolak pembangunan akhirnya membuahkan hasil. Rencana pembangunan PLTGU tidak direalisasikan.

“Setelah kami bersama warga bertemu dengan pihak PLN, investor dan akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pembangunan PLTGU,” ujar Amin.

Setelah warga berhasil menggagalkan rencana pembangunan PLTGU, warga melakukan upaya pemulihan ekosistem pesisir di Kecamatan Bontoa. Sehingga WALHI Sulsel sendiri bersama berbagai organisasi serta warga melakukan pemetaan partisipatif.

“Kami melakukan pemetaan partisipatif di Kecamatan Bontoa pada tahun 2016-2017,” terangnya.

“Kita akhirnya bisa membuat peta partisipatif, yang sudah diakui oleh Bupati Maros pada saat itu. Konflik ruang, konflik batas bisa direduksi, batas-batas desa jelas dan pemanfaatan sumber daya alamnya juga jelas,” tambahnya.

Upaya selanjutnya yang dilakukan oleh warga adalah merehabilitasi kawasan mangrove. Mangrove yang terancam oleh perubahan alih fungsi lahan menjadi tambak menambah kerentanan di wilayah tersebut.

“Setelah kita cek, ternyata terjadi degradasi mangrove. Sangat tipis, tidak saling menutupi, karena perluasan tambak. Dan tambak itu juga tidak produktif karena sering terjadi banjir rob. Ini yang mendorong kami melanjutkan pemulihan lingkungan di Ampekale,” jelas Amin.

Hingga saat ini upaya pemulihan dan perluasan mangrove di Kecamatan Bontoa khususnya di Desa Ampekale terus digalakkan. Peran anak muda memiliki porsi besar yang secara berkala melakukan penanaman mangrove.

Rangkaian kegiatan Aksi Muda Jaga Iklim (AMJI) digelar di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Minggu (13/9/2024). (Foto: Riszky/Jaring Nusa)

“Sekarang banyak anak muda dan komunitas lingkungan hidup punya kalender menanam secara rutin: Saat ini begitu peduli terhadap lingkungan dan ikut memulihkan mangrove yang ada di Desa Ampekale,” ujarnya.

Dampak yang dihasilkan dari upaya berbagai organisasi dan masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove di Desa Ampekale perlahan pulih dan tutupannya semakin luas. Selain itu dampak ekonomi dan ekologinya juga dirasakan.

“Dampaknya, Desa Ampekale dan beberapa desa di Kecamatan Bontoa terbebas dari banjir rob. Selain itu pendapatan nelayan juga meningkat,” terang Amin.

“Yang dulunya berpikir tambak berpenghasilan, namun sekarang mangrove menjadi peluang untuk mendapatkan kepiting rajungan. Pekerjaan alternatif bagi masyarakat dan anak muda salah satunya melalui ekowisata mangrove,” pungkasnya.

Tantangan Pengelolaan di Maluku

Frederik Willem Ayal, Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Unpatti memaparkan data mengenai kondisi ekosistem pesisir dan laut di Maluku. Ia menjelaskan jika luas ekosistem mangrove sebesar 284.364,71 hektar, luasan ekosistem lamun sebesar 190.778,97 hektar dan ekosistem terumbu karang seluas 366.545,04 hektar.

“Saat ini Provinsi Maluku memiliki luas wilayah kelola 12 mil sebesar 15.522.090,15 hektar dengan jumlah pulau sebanyak 1.388,” terangnya.

Pada paparannya ia juga menerangkan jika luasan kawasan konservasi perairan Maluku seluas 4.532.799,78 hektar, atau 29,27 persen dari total luas wilayah kelola Provinsi Maluku.

“Dari luasan tersebut baru 2.170.084,16 hektar yang sudah mendapat SK penetapan,” ujarnya.

Dalam upaya mencapai target minimum 30 persen luasan Kawasan Konservasi Indonesia pada tahun 2045, pemerintah mendorong upaya konservasi yang dikelola bersama dengan masyarakat.

“Saat ini baru 15 wilayah mendapat pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Maluku. Pengakuan harus terus didorong baik melalui bupati atau walikota serta sampai pada RTRW,” jelas Edi, sapaan akrabnya.

Kondisi eksisting luas kawasan konservasi perairan Provinsi Maluku tahun 2024. (Paparan materi Frederik Willem Ayal)

Ia menilai beberapa kerusakan ekosistem juga sedang terjadi di Maluku. Antara lain pembonan ikan, penebangan mangrove, pencemaran, penambangan karang, penggunaan jangkar di kawasan konservasi. Sehingga perlu adanya upaya nyata yang harus dilakukan secara kolaboratif.

“Aspek perlindungan dan penguatan perlu mendapatkan perhatian untuk pengelolaan kawasan konservasi,” pungkasnya.

Sementara itu Syarifudin Azhari Kilbaren, Direktur Tunas Bahari Maluku turut menjelaskan upaya yang sedang dijalankan untuk melindungi wilayah pesisir dan laut di Seram Bagian Timur. 

Secara keseluruhan, bentuk pertumbuhan karang di calon kawasan konservasi Seram Bagian Timur didominasi oleh Coral Massive (39,40%) dan bentuk pertumbuhan terendah adalah Acropora Digitate (0,01%) dari total keberagaman karang yang dapat diidentifikasi pada 7 (tujuh) stasiun monitoring di calon kawasan konservasi Seram Bagian Timur.

Azhari juga menjelaskan kondisi padang lamun di Seram Bagian TImur. Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, stasiun 6 yang terletak di Desa Namalena di Pulau Parang memiliki tingkat tutupan tertinggi dengan nilai 74,29 % dengan kategori padat kemudian disusul dengan stasiun 3 di Desa Gah dengan nilai 71,73 % dengan kategori padat.

“Tutupan terendah ditemukan di stasiun 4 di Desa Waru dengan rata rata 23,20% dengan kategori jarang,” jelasnya.

Untuk mangrove sendiri terdapat 15 Jenis Mangrove Yang ditemukan pada keseluruhan stasiun pengamatan. Jenis mangrove yang sering ditemukan adalah Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, serta Rhizophora stylosa.

“Rata-rata tutupan kanopi pada 6 (enam) stasiun pengamatan adalah sedang (63,88%),” ungkapnya.

Analisis yang dilakukan untuk melihat kondisi ekosistem padang lamun di Seram Bagian Timur. (Foto: Tunas Bahari Maluku)

Ia turut membeberkan tantangan tentang ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya laut tanpa strategi keberlanjutan. Menurutnya banyak komunitas pesisir, terutama nelayan tradisional, sangat bergantung pada hasil laut sebagai sumber utama mata pencaharian mereka.

“Tanpa strategi keberlanjutan seperti pembatasan tangkapan, penerapan zona konservasi, atau praktik perikanan berkelanjutan, eksploitasi berlebihan dapat terjadi,” terang Azhari.

“Hal ini berpotensi menyebabkan penurunan stok ikan, degradasi ekosistem laut, serta hilangnya sumber penghidupan di masa depan,” tambahnya.

Kurangnya edukasi dan sosialisasi mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan menjadi tantangan dalam upaya menjaga keseimbangan ekosistem laut.

“Mengembangkan usaha berbasis sumber daya alam secara berkelanjutan seperti ekowisata, budidaya perikanan ramah lingkungan dan pengembangan komoditi pertanian unggulan,” jelasnya.

Melestarikan Penyu Donggala

Upaya konservasi dari Donggala juga dibagikan pada kesempatan sharing session yang dilakukan. Andi Anwar, Direktur Yayasan Bonebula yang berbasis di Donggala memaparkan fakta miris mengenai kondisi penyu di pesisir Donggala.

Ia menggarisbahwahi jika penyu merupakan spesies yang penting untuk kesimbangan ekosistem laut.

“Namun saat ini kondisinya sangat terancam, termasuk di wilayah kami di Donggala. Setiap tahunnya di antara bulan Januari hingga Juni, itu adalah masa bertelurnya penyu. Sayangnya saat ini penuh dengan keterancaman. Perburuan telur, degradasi habitat, dan pencemaran laut,” jelasnya.

Yayasan bonebula bersama kelompok tani mangrove baturoko berinisiatif untuk mendorong pelestarian penyu di wilayah tersebut. Di pesisir Donggala terdapat dua jenis penyu yang ditemukan yakni penyu sisik dan penyu hijau.

“Sejak 2020 kami berhasil menetaskan 500 telur dan dilepasliarkan ke laut. Keberhasilan ini lantaran partisipasi masyarakat terlibat dalam pelestarian penyu,” terangnya.

“Kami berbekal pengetahuan seadanya namun kami berupaya untuk melestarikannya,” tambah Popay, sapaan akrabnya.

Menurutnya saat ini perburuan telur terus meningkat, karena banyaknya permintaan pasar, telur masih dianggap punya nilai tinggi bagi masyarakat untuk dikonsumsi. Mirisnya masih kurangnya penegakan hukum sehingga perburuan terus berlangsung.

“Kami pernah audiensi BKSDA untuk melestarikan penyu, sayangnya tanggapan bukan masuk dalam prioritas mereka, sehingga aktivitas perburuan semakin massif. Ditambah lagi kesadaran masyarakat yang masih sangat rendah, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa penyu tidak berdampak langsung terhadap kelestarian ekosistem pesisir.” jelasnya.

Saat ini Yayasan Bonebula serta masyarakat sedang mengupayakan perluasan jaringan untuk berkontribusi terhadap pelestarian penyu di wilayahnya.

“Kami mengembangkan konservasi penyu melalui pelibatan masyarakat. Kami berusaha untuk merubah dari berburu telur untuk dijual secara langsung. Kami memberikan insentif bagi pemburu untuk memindahkan telur ke lokasi aman sampai menetas,” terangnya.

“Kami berharap terbangunnya kesadaran warga untuk melindungi penyu,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *