Jaring Nusa kembali menggelar webinar pada Kamis (28/07//2022). Webinar yang diselenggarakan melalui zoom meeting ini mengangkat tema Narasi Mangrove Indonesia, Problematika Pengelolaan dan Perlindungan Kawasan Mangrove di Pesisir Pulau Kecil.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang resmi dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2021, diketahui bahwa total luas mangrove Indonesia seluas 3.364.076 Ha.
KLHK pada 2019 merilis jika sekitar 600.000 hektar dalam kondisi kritis. Dalam aspek kebijakan, baru-baru ini Kemenko Marves mengeluarkan Kepmenko Marves Nomor 88 tahun 2022 tentang Kelompok Kerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional.
Kondisi dan Pengelolaan Mangrove di Indonesia
Andi Kurniawan yang merupakan Wakil Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya menjelaskan Indonesia memiliki keragaman mangrove yang sangat besar. Terdapat sekitar 92 jenis mangrove yang ada di Indonesia. Kapasitas mangrove untuk menampung karbon 3,1 juta ton atau setara 2,5 juta kendaraan setiap tahunnya.
“Melihat dari data tersebut menjadikan mangrove memiliki peran penting dalam upaya mengatasi krisis iklim dan ekonomi masyarakat,” terangnya.
“Walaupun pembahasan mangrove terdegradasi di pesisir dan pulau kecil, tapi secara sains mangrove memiliki fungsi ekologi lebih luas untuk perlindungan bumi,” tambahnya.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional tahun 2021 mengungkap jika luasan mangrove seluas 3,36 juta ha. Sebanyak 79% berada dalam kawasan hutan dan sebanyak 21% berada di luar kawasan hutan. Disatu sisi degradasi mangrove juga terus terjadi setiap tahunnya. Penelitian dari Ilman dkk tahun 2016 mengungkap jika Pulau Jawa menjadi pulau yang mengalami degradasi luasan mangrove di Indonesia.
“Jika kita lihat ancaman yang paling besar terhadap penurunan luasan mangrove adalah tambak,” ungkapnya.
Ekosistem pesisir termasuk mangrove memiliki nilai strategis penting untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, termasuk dukungan mata pencaharian, ketahanan pangan, serta perlindungan dari badai/banjir.
“Karena tantangan pengelolaan dan perlindungan mangrove sangat kompleks, sehingga perlunya partisipasi aktif dan data real dari masyarakat. Serta harus ada good will dan political will dalam menyusun, mengembangkan dan memperkuat kebijakannya,” terangnya.
Pengelolaan dan Perlindungan Mangrove Melalui Aturan
Kus Prisetiahadi sebagai Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves menjelaskan jika mangrove memiliki banyak sekali manfaat baik dari segi ekologi dan juga ekonomi.
“Kami banyak melakukan kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah dan juga masyarakat untuk mengembangkan produk dari mangrove,” ungkapnya.
Selain itu ia juga menjelaskan jika pemerintah saat ini terus mendorong upaya rehabilitasi mangrove melalui aturan yang dibuat. Saat ini Indonesia telah merestorasi 60.000 ha sepanjang tahun 2020-2021.
“Pengelolaan Hutan Mangrove dalam RPJMN 2020-2024 mengungkap jika target rehabilitasi mangrove sebesar 50.000 ha dalam 5 tahun. Dimana 7.500 ha oleh LKHK, 1.800 ha oleh KKP dan 40.700 Ha oleh Pemda, Masyarakat dan dunia usaha,” jelasnya.
Program Rehabilitasi Mangrove Indonesia bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan sosial-ekonomi masyarakat untuk memperkuat upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim nasional serta global melalui pendekatan Pentahelix.
“Saat ini juga kami tengah melakukan upaya pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan di Indonesia. Kita sedang melakukan banyak kerjasama dengan organisasi luar negeri untuk rehabilitasi mangrove di Indonesia,” sambungnya.
Selain itu Kemenkomarves juga Kelompok Kerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional. Terdapat 3 bidang dalam tim kerja yakni bidang rehabilitasi mangrove; bidang pendanaan, penguatan kelembagaan, pengawasan dan penegakan hukum; bidang monitoring, evaluasi, penelitian dan pengembangan.
Restorasi Mangrove dan Ancaman Perubahan Iklim
Tak dapat dipungkiri saat ini krisis iklim menjadi masalah serius yang sedang dihadapi. Ancaman krisis iklim di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sangat terdampak. Kenaikan muka air laut, pemutihan karang, anomali cuaca dan abrasi pantai menjadi dampak dari krisis iklim.
“Hal ini turut berdampak terhadap penghidupan dan ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin terganggu dan terancam,” terang Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh BPPT, kenaikan muka air laut di Selat Makassar sebesar 42,09 cm. Penelitian Bando tahun 2015 mengungkap skenario kenaikan muka air laut di Kota Makassar. Pada tahun 2025 total luas daerah yang tergenang sebanyak 76,82 ha dan tahun 2100 bertambah menjadi 681,05 ha.
“Makassar menjadi salah satu contoh kawasan pesisir yang terdampak perubahan iklim. Total kenaikan air laut akibat perubahan iklim terus mengalami peningkatan,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan jika Indonesia kehilangan mangrove 52.000 ha setiap tahunnya. Kalau jika dibandingkan, maka mangrove yang hilang sama luasnya dengan Kota New York.
“Jika mangrove mengalami kerusakan, maka akan berdampak terhadap kenaikan emisi karbon. Emisi karbon akibat kerusakan mangrove mencapai 190 juta ton,” jelasnya.
Sehingga mangrove menjadi ekosistem esensial terhadap mitigasi perubahan iklim. Serapan karbon mangrove di kota Makassar sebesar 58.015 ton/tahun. Selain itu adanya mangrove juga akan menjaga Kota Makassar dari abrasi dan amblasan tanah.
Mangrove Donggala, Benteng Pesisir yang Tersisa
Andi Anwar, Direktur Yayasan Bonebula yang berbasis di Donggala, Sulawesi Tengah mengungkap jika luasan mangrove Donggala sebesar 1531,47 ha yang tersebar di 14 kecamatan. Data dari Kemenkomar pada tahun 2018 mengungkap jika sebanyak 768 ha mangrove dalam kondisi kritis.
“Dalam 4 tahun terakhir (2015-2019) terjadi penurunan luasan sebesar 12% dari 66,89 Ha menjadi 59,11 Ha,” terangnya.
Di Kabupaten Donggala sendiri masalah yang dihadapi terkait perlindungan Mangrove yakni rehabilitasi mangorve yang gagal, degradasi mangrove akibat abrasi hingga lemahnya pengawasan dan lemahnya penegakan aturan.
“Semua kawasan pesisir Donggala merupakan kawasan lindung. Namun reklamasi dan alih fungsi lahan dengan mengorbakan mangrove terus berjalan,” ungkapnya.
Yayasan Bonebula turut berkontribusi dalam upaya rehabilitasi mangrove di pesisir Kabupaten Donggala. Hal tersebut lantaran terdapat beberapa program rehabilitasi yang mangrove yang belum maksimal.
“Sayangnya, rehabilitasi mangrove yang dijalankan masih banyak kekurangan bahkan terancam gagal serta tidak didahului peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat lokal. Selain itu program perlindungan tidak mengaitkan dengan kepentingan ekonomi masyarakat lokal, jelasnya.
Ia terus mendorong upaya rehabilitasi dan juga pengembangan ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan mangrove.
“Saat ini kami sudah melatih 30 fasilitator rehabilitasi mangrove yang kemudian menjadi inisiator perlindungan dan pemulihan mangrove di daerahnya,” jelasnya.
“Kami juga mendorong penguatan ekonomi melalui 7 kelompok yang kami dampingi dalam pemanfaatan buah mangrove untuk pangan serta ekowisata mangrove,” tambahnya.
Penulis: Muhammad Riszky