Tahun 2023 merupakan masa persiapan pemilihan umum serentak yang akan dilaksanakan pada 2024, yakni pemilihan presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah. Penetapan calon peserta Pemilu hingga kampanye politik akan dilakukan pada 2023. Publik tentu sudah mafhum bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal.
Menurut catatan KPK, dana yang harus dimiliki para calon untuk menjadi bupati atau walikota mencapai Rp20-30 miliar. Ongkos politik tidak hanya menggunakan dana pribadi calon terkait, tapi umumnya juga didapat dari berbagai sponsor, salah satunya sumbangan perusahaan.
Konsekuensinya, dalam melalui periode jabatan, calon terpilih berpotensi terkungkung dalam konflik kepentingan dan politik balas budi dengan pemberi sumbangan.
Salah satu yang menjadi masalah dalam praktik sumbangan adalah ketika sumbangan tersebut diberikan oleh perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam.
Konflik kepentingan antara pejabat dan perusahaan SDA dalam pengelolaan komoditas sumber daya alam berpotensi besar dan telah terbukti di beberapa wilayah dapat menyebabkan kerusakan alam.
Apalagi jika perusahaan terkait bergerak pada bidang yang dalam proses bisnisnya melakukan pembukaan lahan dalam skala besar. Berdasarkan Laporan Tempo, tercatat 262 dari 575 anggota DPR memiliki latar belakang sebagai pengusaha, termasuk merambah sektor industri ekstraktif.
Dengan asumsi bahwa para anggota DPR tersebut kemungkinan akan mencalonkan diri kembali pada pemilu kali ini, maka kondisi ini berpotensi meningkatkan angka izin dalam industri ekstraktif sumber daya alam yang nantinya akan digunakan untuk biaya/ongkos kampanye.
Lebih jauh dari itu, setidaknya setengah dari 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap kekuasaan juga terhubung langsung dengan bisnis ekstraktif tambang, sawit, dan kayu.
Potensi fraud ke depannya juga dapat terjadi melalui regulatory capture dimana pembuat regulasi dipengaruhi kepentingan-kepentingan korporasi dalam menentukan arah kebijakannya. Hal ini sangat berbahaya sebab kemudahan akses terhadap para pengusaha dilakukan secara legal.
Selain itu, pemberian izin kepada perusahaan yang telah memberikan sumbangan juga berpotensi terjadi karena utang politik dalam masa pemilihan.
Potensi ini harus disikapi secara serius sebab hampir seluruh provinsi dengan wilayah hutan alam tersisa yang besar melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 2024.
Selain permasalahan di atas, pergantian rezim juga akan menimbulkan tanda tanya bagi kontinuitas program-program terkait penanganan perubahan iklim yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan saat ini.
Sebagian besar kebijakan terkait iklim di Indonesia saat ini adalah produk kebijakan yang dibuat oleh Presiden, baik berupa Instruksi Presiden (Inpres) ataupun Peraturan Presiden (Perpres).
Jika presiden berganti, tentu harus dipastikan apakah kebijakan yang telah berjalan dengan baik juga akan diubah. Perhatian khusus harus diberikan pada kebijakan-kebijakan pemerintah periode ini yang belum selesai, terutama kebijakan yang memanfaatkan lahan dalam jumlah besar (land exhaustive).
Beberapa kebijakan yang Madani catat antara lain:
Terhadap kondisi pada tahun politik ini, Madani memberikan beberapa catatan rekomendasi.
Pertama, pemberi izin harus berkomitmen untuk tidak lagi memberikan izin terhadap usahausaha eksploitasi lahan yang dapat meningkatkan laju deforestasi, terutama izin pada hutan alam dan lahan gambut.
Kedua, Kementerian/Lembaga terkait harus memastikan bagaimana kontinuitas program-program terkait iklim yang telah ada saat ini.
Apabila sifat aturannya beschikking atau ketetapan pengambil kebijakan, maka harus dipastikan bahwa program-program terkait pengendalian perubahan iklim akan berlanjut pada periode setelahnya.
Tulisan ini bersumber dari Madani “Meneropong Kebijakan Iklim dalam Tahun Politik”