Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau kecil Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin menyampaikan bahwa ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia, mengingat secara mendasar laut di Indonesia masih diposisikan sebagai ruang kompetisi terbuka (mare liberum).
Doktrin mare liberum atau Laut Bebas digagas–yang oleh Hugo de Groot alias Hugo Grotius, seorang ahli hukum Belanda–dipadukan dengan ekonomi pasar modern, sesungguhnya mendorong terjadinya eksploitasi berlebih pada sumber daya laut.
Lebih lanjut, Parid menguraikan, doktrin mare liberum menjadi dasar dari konsep laut sebagai open acces, di mana laut diposisikan sebagai ruang kompetisi antara nelayan atau masyarakat dengan industri skala besar, kontrol dan akses tidak diberikan kepada masyarakat pesisir, siapa pun yang memiliki power dapat mengeksploitasi sumber daya di wilayah tersebut.
“Dalam situasi ini, ruang tangkap nelayan tradisional tidak mendapatkan pengakuan, terutama dalam peraturan perundangan. Pemerintah lebih memprioritaskan untuk memberi akses yang terbuka kepada siapa pun atas dasar siapa kuat (secara finansial). Kondisi ini mengakibatkan apa yang disebut sebagai “tragedi kepemilikan bersama,” kata Parid.
Di Indonesia ekonomi biru telah dan sedang mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut atau ocean grabbing.
“Istilah ocean grabbing digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil,” urai Parid.
Aktor utama ocean grabbing, kata Parid, adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi.
Beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi dan kebijakan berbasis pasar yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.
“Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis,” jelas Parid.
Dalam situasi semacam ini, ekonomi biru justru menambah persoalan baru daripada menyelesaikan masalah tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia.
“Pada titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya kembali pada konsep ekonomi yang dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia, bukannya silau dengan ekonomi biru yang sangat bias kepentingan negara-negara utara. WALHI menyebut ekonomi berbasis konstitusi itu sebagai ekonomi Nusantara,” pungkas Parid.
Foto Utama: Peluncuran dan bedah buku Ekonomi Nusantara Antitesis Ekonomi Biru: Sebuah Kajian Ekonomi Politik yang bertempat di Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Serang, Banten (4/6/2024). (Foto: WALHI)