Pemenuhan air bersih adalah hak fundamental masyarakat yang wajib dipenuhi pemerintah, sebagaimana dalam amanat undang-undang, salah satunya tercantum di Pasal 8 ayat 2 UU No.17 tahun 2019.
Namun faktanya, di sejumlah wilayah, khususnya di 3 wilayah Makassar justru tak mendapatkan keadilan dari hukum tersebut. Malah hak pemenuhannya terabaikan dalam 20 tahun terakhir dan menjadikan masyarakatnya mengalami ketimpangan sosial, ekonomi dan ancaman kesehatan serius karena krisis air bersih.
Melihat situasi yang makin mengkhawatirkan itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) bersama Koalisi Gerakan Makassar Menuntut Air Bersih (GEMAH) meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar mengambil langkah serus guna mengatasi persoalan krisis air bersih, khususnya di 3 wilayah di Makassar.
Kepala Divisi Keterliabatan Perempuan Walhi Sulsel, Hikmawaty Sabar, mengatakan, kurang lebih 20 tahun lamanya, masyarakat yang berada di Kecamatan Tallo, khususnya di Kelurahan Tallo, Kaluku Bodoa, dan Buloa merasakan kelangkaan air bersih. Permasalahan ini semakin diperparah dengan adanya pengaruh perubahan iklim yang semakin hari semakin dirasakan oleh masyarakat.
“Kota Makassar yang digembor-gemborkan sebagai “Kota Dunia” tak sesuai dengan fakta. Bahkan dari peneltian yang kami lakukan di Walhi Sulsel justru menunjukkan bahwa Kota Makassar ternyata begitu rapuh akibat dari lonjakan industrialisasi, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta dipengaruhi oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis,” katanya, dalam Diskusi Publik Volume II “Pilkada, Ketimpangan Akses Air Bersih dan Tanggungjawab Negara Dalam Pemenuhan Hak Dasar Warga Kota” via Zoom Meeting, Selasa (6/11/2024).
Karena itu, kami menggaungkan persoalan krisis air bersih ini, guna terus mendorong pemerintah untuk berupaya serius dalam pemenuhan hak fundamental masyarakatnya,” tambah Hikmah.
Riset WALHI Sulsel
Dari penelitian yang dilakukan Walhi Sulsel selama kurang lebih 4 bulan di 3 kelurahan tersebut, kata Hikma, dicatatkan permasalahan yang diutarakan 78 responden yang mengisi kuesioner secara online terkait permasalahan air bersih yang mereka alami, adalah PDAM yang tidak mengalir (27 persen), air bersih yang sulit (23 persen), sumber air jauh (11 persen), air yang harus dibeli (22 persen) dan kualitas air yang kurang baik (17 persen).
Sementara 86 responden lainnya yang mengisi kuesioner secara offline mengadukan permasalahan mereka berupa air PDAM yang tidak mengalir dan pemerintah yang tidak pernah mendengar keluhan mereka perihal kebutuhan air bersih masyarakat.
“Tidak hanya itu, penelitian ini juga menemukan bahwa permasalahan krisis air yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di pesisir utara Kota Makassar memberi dampak terhadap perempuan, baik secara ekonomi, sosial, dan kesehatan. Bahkan dalam penelitian ini juga mengungkapkan adanya bentuk privatisasi air dalam hal monopoli distribusi air PDAM yang dijual kembali ke masyarakat dan ketimpangan atas akses air bersih,” kata Hikmah.
Karena melihat kondisi itulah, lanjut Hikmah, Walhi Sulsel meminta pemerintah selain berupaya serius menangani persoalan ini, juga memperbaiki pelayanan, tata kelola dan distribusi air bersih.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa sebenarnya permasalahan air bersih di Kecamatan Tallo bukan persoalan teknis ‘perpipaan’ saja, namun juga masalah akses dan distribusi, dimana ada sebagian kecil warga yang mendapatkan akses air bersih dari PDAM, sementara sebagian lainnya harus membeli air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
“Selain melakukan perbaikan teknis, kami juga meminta Pemerintah Kota Makassar harus menyiapkan dokumen perencanaan adaptasi dan mitigasi bagi warga kota yang masih sulit mengakses air bersih di tengah krisis iklim yang saat ini semakin melanda,” kata Hikmah.
Resapan Air Makassar Menipis
Sementara, Peneliti di Human Geography and Spatial Planning Department, Utrecht University dan Yayasan Amerta Air Indonesia, Bosman Batubara, mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukannya, dicatatkan wilayah resapan air di Makassar semakin menyempit, sehingga cadangan air tanah Kota Makassar juga semakin menipis.
Tentunya dalam hal ini yang paling terdampak adalah masyarakat kalangan ke bawah. Belum lagi tahun 2023 kemarin, Pemerintah Kota Makassar menetapkan Makassar tanggap darurat bencana kekeringan dan mencatatkan sebanyak 89.998 jiwa dari 26.998 kepala keluarga terdampak krisis air bersih.
“Hal ini juga merupakan akibat pembebanan struktur-struktur bangunan yang menjamur karena reklamasi pantai yang menyebabkan tumbuhnya kota-kota kecil di sepanjang pesisir barat Kota Makassar, apalagi tanah di Kota Makassar sudah amblas sekitar 10-15 cm pada periode 1993-1998,” katanya.
Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Muhammad Ismail, mengungkapkan, isu krisis air bersih hingga saat ini tidak mencuat ke publik, pemerintah pun abai akan hal itu.
Padahal hal itu menyangkut kebutuhan dasar atau fundamental masyarakat. Pemerimtah hanya cenderung ke arah perbaikan infrastruktur saja, tidak menggambarkan ke arah perbaikan yang sangat dibutuhkan masyarakat, misalnya persoalan krisis air bersih.
“Harusnya pemerintah membenahi kebijakan persoalan ini, apakah itu terkait bentuk pengawasan air tanah. Apalagi sedari dulu masyarakat di utara Kota Makassar selalu dibebani persoalan ini tapi tidak ada solusi dari pemerintah,” terang Ismail.
“Hal ini makin diperparah dimana saat ini daerah-daerah resapan air dialihfungsikan menjadi perumahan yang berdampak banjir pada permukiman sekitarnya karena air saat curah hujan tinggi hanya tertinggal di permukaan tanah saja karena wilayah resapan air telah rusak,” tmbahnya dalam diskusi.
Saat ini, kata Ismail, wilayah resapan air Kota Makassar sangat minim, belum lagi Ruang Terbuka Hijau atau RTH masih sebesar 11,47 persen pada 2023, padahal harusnya sudah 30 persen.
Belum lagi sistem sanitasi dan drainase yang tidak terbangun dengan baik, bahkan sangat buruk. Juga aliran sungat dalam kota (Jeneberang dan Tallo) yang tercemar dan tidak terkelola, serta idak adanya pengawasan ketat dan penindakan di penggunaan air tanah dan praktek industri yang merusak sumber daya air.
Ditambah distribusi air oleh PDAM yang tidak merata dan diskriminasi dan tidak adanya kebijakan khusus daerah terkait pengelolaan sumber daya air.
Tentunya hal ini harus menjadi perhatian Pemerintah Kota Makassar yang merupakan tanggungjawabnya dalam pemenuhan hak atas air bersih masyarakat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Undang-Undang No.17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
“Karenanya, kami berharap pemerintah memperhatikan poin-poin penting saat pengambilan kebijakan, seperti kebijakan pengelolaan sumber daya air yang meliputi penyusunan pola dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai, serta mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai, dan menjamin ketersediaan air baku yang memenuhi kualitas untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, karena ini adalah tanggungjawab pemerimtah,” katanya.
Foto Utama: Salah satu tuntutan perempuan di Kelurahan Tallo, Buloa, dan Kaluku Bodoa terkait Pelayanan Air Bersih. (Foto: WALHI Sulsel)