Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam kerangka program FOCUS (Fisherfolk Empowerment for Climate Resilience and Sustainability/Pemberdayaan Nelayan untuk Ketahanan Iklim dan Keberlanjutan) dan jejaring masyarakat sipil menyatakan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang disahkan melalui UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 tidak mengutamakan keselamatan lingkungan hidup, keselamatan masyarakat, dan juga keadilan iklim. Hal tersebut disampaikan dalam diskusi publik yang diselenggarakan secara daring pada Jumat, 14 April 2023.
Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin, secara prinsip, masalah utamanya adalah Pasal 33 UUD 1945 tidak dijadikan dasar konsideran UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025.
“Maka yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan industri skala besar, terutama di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Hal ini memperparah kerusakan lingkungan hidup, meminggirkan kehidupan masyarakat, dan memperburuk dampak krisis iklim,” tegasnya.
Parid melanjutkan, selama ini pembangunan di Indonesia telah menempatkan sumber daya alam, terutama pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sebagai target investasi skala besar.
“Reklamasi lebih dari 3,5 juta hektar sampai tahun 2040, pertambangan seluas 2.919.870,93 hektar (atau sebanyak 1.405 IUP) di wilayah pesisir serta seluas 687.909,01 hektar (atau sebanyak 324 IUP) di wilayah laut sampai dengan tahun 2021, 50 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sampai tahun 2025” urainya.
Ia menambahkan, RPJPN 2005-2045 tidak memprioritaskan perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak krisis iklim. Dampaknya, saat ini 13 ribu desa-desa pesisir, ratusan pulau-pulau kecil terancam tenggelam di mana diantaranya tujuh pulau kecil telah tenggelam di perairan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Lebih jauh, jutaan orang terancam menjadi pengungsi iklim akibat pembangunan yang tak memihak rakyat.
Sejalan dengan itu, Direktur Walhi Jawa Tengah, Fahmi Bastian menyatakan bahwa Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Semarang adalah salah satu kota yang akan tenggelam. Walhi Jawa Tengah melihat banyaknya kebijakan yang bertolak belakang dengan karakter geografis wilayah.
Contoh nyatanya, wilayah pesisir yang harusnya difungsikan untuk memiliki daya dukung dan daya tampung yang memadai, malah dijadikan proyek-proyek untuk kepentingan privat. Belum lagi, kerentanan bencana juga jarang sekali dibicarakan dan terkesan ‘kalah’ oleh wacana besar berjudul “Pertumbuhan Ekonomi”.
Ia menjelaskan pesisir Jawa Tengah, baik di utara dan selatan telah dibebani oleh izin industri skala besar yang telah merusak kelestarian pesisir dan laut. Ia menyebut bahwa pada tahun 2020 tercatat sebanyak 109 desa pesisir yang terdampak banjir rob.
Tak hanya itu, luasan mangrove juga mengalami penurunan yang sangat drastis. Tahun 2010, mangrove tercatat seluas 1.784.850 hektar. Tahun 2021, luasannya hanya 10.738,62 hektar. Fahmi menjelaskan, di Jawa Tengah juga jumlah nelayan mengalami penurunan yang sangat signifikan.
“Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 103.839 orang. Lalu pada tahun 2019, jumlahnya menurun menjadi 70.494 orang,” tegasnya.
Berbagai data di atas, kata Fahmi, menggambarkan betapa pembangunan telah mempercepat kerusakan lingkungan di pesisir Jawa Tengah sekaligus menurunkan jumlah nelayan sebagai aktor penting perikanan. Inilah potret pembangunan yang wajib dievaluasi oleh masyarakat.
Paradigma Pembangunan yang salah
Dosen ilmu lingkungan Universitas Katolik Soegijapranata, Hotmauli Sidabalok, Ph.D., menyatakan bahwa paradigma pembangunan di Indonesia masih berkutat pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur skala besar.
Tak hanya itu, pendekatan pembangunan juga masih sangat top-down serta tidak mempertimbangkan persoalan-persoalan nyata di masyarakat. Hal ini membawa pada hilangnya dimensi keadilan lingkungan bagi masyarakat.
Ia mencontohkan pembangunan proyek pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) yang didorong oleh pemerintah sebagai proyek strategis nasional yang memperparah kerusakan ekosistem pesisir Jawa tengah, mengacaukan arus laut, menghancurkan garis pantai, serta merusak wilayah tangkap nelayan. Dampak dari pembangunan ini, jumlah tangkapan ikan nelayan terus berkurang dari waktu ke waktu.
“Proyek infrastruktur skala besar tersebut, sejak lama tidak pernah didiskusikan dengan masyarakat di pesisir. Mereka tak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Ini merupakan bentuk ketidakadilan lingkungan, terutama ketidakadilan prosedural,” urainya.
Secara umum, tambah Hotmauli Sidabalok, pembangunan di Indonesia sejak lama tidak mempertimbangkan kebebasan politik dan sosial untuk masyarakat. Pembangunan yang dijalankan tidak mengindahkan kepentingan dan aspirasi masyarakat.
Banyak pembangunan yang mengatasnamakan untuk kepentingan masyarakat, tetapi sebenarnya tidak benar-benar untuk kepentingan mereka. Pada praktiknya, kepentingan itu sebenarnya untuk melayani kapitalisme.
Dampak di lapangan
Marzuki, seorang nelayan tangkap di Tambakrejo, Kota Semarang, menyebutkan bahwa pada tahun 1997, telah merasakan kenaikan air laut walaupun belum tahu persis apa penyebabnya. Pada saat itu, ia sudah melihat wilayah pesisir utara semakin terkikis.
Tak hanya dia, banyak nelayan budidaya juga merasakan tambaknya terus menghilang. Saat ini, wilayah tersebut benar-benar telah hilang.
Hal lainnya, ia dan kelompok nelayan di Tambakrejo saat ini semakin mengalami kesulitan menangkap ikan dibandingkan dengan awal tahun 2000-an. Dulu, nelayan dapat menangkap ikan ke tengah laut namun kini tidak. Situasi semakin rumit dengan dipasangnya pipa-pipa industri di tengah wilayah tangkap nelayan dan mengganggu aktivitas nelayan.
“Saat ini kami sudah hampir kehabisan akal,” imbuhnya.
Marzuki menjelaskan, kesulitan hidup nelayan di Tambakrejo semakin bertambah dengan adanya penggusuran pada tahun 2019 lalu. Sampai sekarang, lebih dari 97 keluarga nelayan di kampungnya tak mendapatkan kepastian tempat tinggal dari pemerintah.
“Kami semakin merasa kalau ada yang salah dalam pembangunan dan pengaturan wilayah kami. Ketika bicara soal pembangunan, termasuk yang dituangkan dalam RPJP, saya bertanya pembangunan ini dari dan untuk siapa?” jelasnya.
Senada dengan itu, Asmania, perempuan nelayan dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta, menyatakan nelayan-nelayan semakin kesulitan menangkap ikan. Sepuluh tahun lalu, nelayan Pulau Pari dapat menangkap ikan minimal satu kwintal.
Namun sekarang, 10 kilogram saja sudah sulit. Dalam situasi itu, sebagai perempuan, kami tetap berusaha menyediakan makan untuk keluarga kami.
Proyek reklamasi di Pulau Tengah untuk proyek pariwisata telah menghancurkan kawasan tangkapan dan kawasan budidaya rumput laut nelayan di Pulau Pari.
“Masyarakat di Pulau Pari juga harus berhadapan dengan ancaman perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan pariwisata dan memenjarakan banyak nelayan. Dalam situasi itu perempuan nelayan, bergerak untuk melawan dan menyelamatkan masyarakat pulau pari,” tambah Asmania.
Asmania juga menjelaskan, Pulau Pari yang luasnya hanya 42 hektar, terancam tenggelam. Saat ini 11 persen pulau tersebut telah terendam air laut. Ia mengkhawatirkan masa depan anak-anak dan seluruh generasi muda yang hidup di sana.
Kini, ia bersama tiga orang nelayan tengah melakukan gugatan iklim melawan Holcim–perusahaan semen terbesar di dunia yang bermarkas di Swiss–karena Holcim memproduksi emisi karbon dalam jumlah sangat besar yang berakibat pada segudang permasalahan yang kini dihadapi masyarakat pulau Pari.
Dalam situasi ini, ia menyayangkan tak adanya keberpihakan pemerintah untuk menyelamatkan Pulau Pari dari ancaman perampasan tanah sekaligus dampak krisis iklim, meski ia dan masyarakat di sana telah berusaha menyelamatkan Pulau Pari.
“Kami mendesak pemerintah untuk mendesain pembangunan yang akan menyelamatkan kehidupan kami dan seluruh pulau, terlebih pulau kecil di Indonesia,” pungkasnya. (*)
*Rilis WALHI