Search
Close this search box.
Search

JATAM dan SSI Layangkan Surat Terbuka untuk Cabut Kontrak Karya PT TMS

JATAM dan SSI Layangkan Surat Terbuka untuk Cabut Kontrak Karya PT TMS

Dengan hormat,

Kami, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bersama Selamatkan Sangihe Ikekendage (SSI), dalam surat terbuka ini menyampaikan sejumlah tuntutan terkait dengan kegiatan pertambangan emas di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.

Pulau Sangihe, dengan luas sekitar 597,26 km², termasuk dalam kategori pulau kecil sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. 1/2014 perubahan atas UU No. 27/2007. Undang-Undang ini secara tegas melarang pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan penambangan mineral.

Namun, PT Tambang Mas Sangihe (TMS), perusahaan asal Kanada, masih memaksa agar dapat melakukan kegiatan penambangan di Pulau Sangihe, meskipun izin operasi produksinya telah dicabut dan konstitusi Indonesia secara tegas melarang kegiatan tersebut. Aktivitas ini dilakukan melalui kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal yang tidak memiliki legalitas resmi.

Berikut adalah kronologi gugatan warga terhadap izin peningkatan operasi produksi PT Tambang Mas Sangihe yang mengakibatkan perusahaan tersebut kehilangan izin operasi produksinya:

  1. Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara: Pada 12 Agustus 2021, warga Pulau Sangihe menggugat izin peningkatan operasi produksi yang diberikan kepada PT Tambang Mas Sangihe melalui SK Nomor 163.k/MB.04/DJB/2021 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Namun, gugatan warga ditolak oleh PTUN Jakarta melalui putusan Nomor 146/G/2021/PTUN.JKT.
  2. Banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN): Setelah gugatan di PTUN ditolak, warga Pulau Sangihe mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) pada 23 Juni 2022. Majelis Hakim PTTUN dalam putusan banding dengan perkara Nomor 140/B/2022/PT.TUN.JKT mengabulkan banding yang diajukan warga Sangihe dan meminta Kementerian ESDM untuk mencabut izin peningkatan operasi produksi yang diberikan kepada PT Tambang Mas Sangihe.
  3. Kasasi di Mahkamah Agung: Menteri ESDM dan PT Tambang Mas Sangihe kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada Desember 2022, Majelis Hakim Mahkamah Agung menolak kasasi tersebut dalam putusan Nomor 650 K/TUN/2022 dan menguatkan putusan PTTUN.
  4. Keputusan ESDM: Dengan adanya putusan Mahkamah Agung, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 13.K/MB.04/DJB.M/2023 tentang Pencabutan Keputusan Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021. Dengan demikian, PT TMS menjadi tidak memiliki legalitas hukum apapun untuk terus beroperasi di Sangihe.

 

Pengajuan Peninjauan Kembali oleh PT TMS: Setelah kalah dalam tahap Kasasi dan Kementerian ESDM telah mencabut SK Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021, PT TMS mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi tersebut. Namun, pengadilan Indonesia tetap berpegang teguh pada konstitusi yang ditunjukkan dengan penolakan upaya PK PT TMS oleh Majelis Hakim.

Kendati telah kalah telak secara hukum, PT TMS tetap membangkang. Alih-alih menaati konstitusi dan menegakkan marwah hukum di Indonesia, PT TMS malah menjalin kerja sama dengan perusahaan kontraktor yang tidak memiliki dasar hukum yang sah.

Berikut beberapa poin terkait dugaan aktivitas ilegal PT TMS:

  • Kerja Sama dengan Perusahaan Kontraktor: PT TMS diduga tetap beroperasi melalui kerja sama dengan perusahaan lokal CV Mahamu Hebat Sejahtera dan PT Putra Rimpulaeng Persada. Kerja sama ini membuat kesan seolah-olah perusahaan yang beroperasi bukan TMS. Perlu menjadi catatan besar bahwa kedua perusahaan kontraktor tersebut tidak terdaftar dalam Kementerian Hukum dan pencatatan aktanya tidak dapat ditemukan dalam arsip Berita Acara Negara Republik Indonesia.
  • Kerja Sama Dilakukan Setelah Kalah di MA dan Dicabut Izinnya oleh ESDM: Saat perjanjian dengan kedua perusahaan kontraktor tersebut dibuat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mencabut izin operasi produksi PT TMS melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) Nomor 13.K/MB.04/DJB.M/2023 tentang Pencabutan Keputusan Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Artinya, PT TMS tidak memiliki landasan hukum untuk terus memaksa beroperasi melalui kontraktor.
  • Keuntungan yang Diperoleh dari Perjanjian dengan Kontraktor: PT Rimpulaeng sebagai kontraktor membayar sekitar Rp 4,740 miliar sebagai deposito yang tidak dapat dikembalikan dan TMS mendapatkan 35 persen dari total keuntungan yang diperoleh. Mahamu juga memiliki kesepakatan yang mirip dengan deposit Can$ 6 juta dan bagi hasil keuntungan sebesar 35 persen. Diduga ini merupakan sebuah kerugian negara yang berasal dari aktivitas ilegal.

Salah satu dasar pembangkangan PT TMS adalah masih berlakunya Kontrak Karya yang diperjanjikan pada 27 April 1997, kemudian direaktivasi pada 2009. Padahal, terdapat dasar kuat untuk membatalkan Kontrak Karya tersebut demi hukum, beberapa di antaranya:

  • Pasal 18 dalam Kontrak Karya tersebut menginjak-injak dimensi kemanusiaan warga Sangihe:
    Kontrak Karya 1997 antara TMS dengan pemerintah Indonesia, yang kemudian di-reaktivasi pada 2009, memberikan berbagai kemudahan kepada perusahaan asing tersebut, seperti hak untuk memindahkan pohon dan tanah penutup, mengurangi gangguan dari pihak lain, serta bantuan pemerintah dalam relokasi warga setempat. Warga Sangihe tidak pernah diperlakukan dan dilibatkan sebagai subjek hukum dalam perjanjian Kontrak Karya ini dan didegradasi menjadi objek dari perjanjian tersebut. Hal ini menunjukkan adanya cacat kehendak karena dalam sebuah perjanjian berdimensi hukum, seluruh subjek hukum harus mengetahui adanya perjanjian.
  • Tidak Memiliki Izin/Rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan:
    Pulau Sangihe termasuk dalam kategori kepulauan kecil yang memerlukan izin khusus untuk kegiatan penambangan. Kontrak Karya PT TMS tidak dilengkapi dengan izin atau rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
  • Bertentangan dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil:
    Pulau Sangihe, dengan luas sekitar 597,26 km², masuk dalam kategori pulau kecil sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. 1/2014 perubahan atas UU No. 27/2007. UU ini melarang adanya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan penambangan mineral. Kontrak Karya PT TMS bertentangan dengan ketentuan hukum ini.

 

Dengan berbagai tindakan pembangkangan hukum yang dilakukan TMS, JATAM bersama warga Pulau Sangihe menuntut pemerintah untuk segera bertindak tegas dengan menghentikan operasi penambangan dan upaya mengurus ulang izin operasi produksi, serta memberikan sanksi hukum atas seluruh kejahatan perusahaan.

Kami juga mengingatkan pemerintah: Jangan pernah bersekongkol dengan PT TMS, mengutak-atik regulasi dan melakukan pembiaran atas operasi perusahaan! Segala bentuk siasat tersebut akan menempatkan pemerintah sebagai bagian dari pelaku kejahatan yang sama.

Pulau kecil Sangihe lebih berharga daripada emas. Pertambangan hanya akan menyebabkan kerusakan bentang alam beserta seluruh ekosistem di dalamnya, dan mengancam keselamatan warga. Kegiatan penambangan tersebut merampas sumber air bersih, lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi ruang produksi dan penghidupan warga, serta merusak kualitas pesisir yang menjadi ruang pangan dan penghidupan bagi komunitas nelayan. Selain itu, aktivitas penambangan dapat menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat yang sebelumnya hidup damai dan harmonis.

Oleh karena itu, kami menuntut hal-hal berikut:

  1. Hentikan Kegiatan Penambangan dan Cabut Kontrak Karya PT TMS! 
    Kami menuntut agar kegiatan pertambangan emas di Pulau Sangihe dihentikan segera. Kami juga meminta pencabutan kontrak karya yang memberikan konsesi tambang emas kepada PT Tambang Mas Sangihe dan penghentian seluruh aktivitas pertambangan di pulau kecil ini.
  2. Tegakkan Aturan dalam UU No. 1 Tahun 2014!
    Kami mendesak seluruh pihak untuk menegakkan aturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 yang dengan tegas menyatakan bahwa pulau kecil tidak diperuntukkan untuk kegiatan pertambangan.
  3. Patuhi Putusan Hukum!
    Kami menuntut agar perusahaan asal Kanada, PT Tambang Mas Sangihe, menghormati dan mematuhi putusan hukum yang telah ditetapkan serta menghentikan seluruh aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan mengancam keselamatan warga Sangihe.
  4. Tarik Investasi!
    Kami mendesak agar PT Arsari Tambang segera menghentikan kerja sama dengan PT Tambang Mas Sangihe dan menarik kembali investasi saham sebesar 10% di perusahaan tersebut.
  5. Bersikap Adil!
    Kami mendesak semua pihak/lembaga bersedia memihak kepada warga di Sangihe dan pulau kecil lainnya dengan tidak semata berpihak pada investasi yang merusak lingkungan dan mengancam keselamatan warga.

 

Sebagai negara hukum, sudah sepatutnya pemerintah beserta aparat penegak hukum menegakkan keadilan setinggi-tingginya. Fiat justitia, ruat caelum – “Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.”

Kami berharap surat ini dapat menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan semua pihak terkait. Kami ingin memastikan bahwa Pulau Sangihe tetap lestari dan keselamatan warganya terjaga.

Hormat kami,

Koordinator JATAM &
Selamatkan Sangihe Ikekendage  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *